Pada era tahun 1960-an, musik aliran Barat [Inggris dan Amerika] dianggap haram oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Musik dari negara kapitalis itu disebutnya tidak mencerminkan 'nation and character building'. Tetapi di Malang, pada era tahun itu justru banyak seniman musik bermunculan. Biasanya mereka berkumpul di Sarinah [sekarang Sarinah Plaza] yang terletak di alun-alun kota.
Band pertama yang muncul di Malang, setelah pemberontakan PKI adalah Eka Dasa Taruna yang didirikan oleh Letkol Sudarji [Pendiri Univeristas Merdeka Malang]. Band ini sering melantunkan lagu-lagu Nat King Cole dan Elvis Presley. Artisnya yang terkenal di band ini kala itu adalah Sujarwo, pemetik melodi gitar yang punya speed skill dan harmoni yang belum ada tandingannya di masa itu.
Dari band Eka Dasa Taruna inilah, muncul band dan artis-artis lain yang juga tidak kalah hebatnya pada waktu itu. Seperti Jaguar yang dimotori oleh Intan dan Mickey Cs, kemudian diikuti group band lainnya ; El Vera, Avia Nada, Brahma, Mageta, Moonstair, Sakuntala, Suara Ria dan lain-lain. Bahkan ada pula band cewek yang tidak kalah populernya dengan Dara Puspita pada waktu itu, yaitu Dara Ria yang dimotori oleh Elsi dan Pipit cs. Band-band tersebut rata-rata mendendangkan lagu-lagu The Beatles, The Comets dan Rolling Stones.
Artis-artis lokal pun bermunculan di Malang. Dengan celana komprang dan rambut gondrongnya muncul penyanyi rock seperti Sujarwo dan Suroso [Eka Dasa Taruna], Totok Karnadi [Jaguar], Suhardi [Moonstair dan Sakuntala], Abadi Soesman [Band Bocah], Agus Kodar [Zakatoeriel], Mickey [Jaguar], Pendy [El Vera], Harno [Cordova], Hartono [Tornado], dan lain sebagainya. Mereka inilah pioner musik rock Malang yang dilupakan orang dan bahkan terlepas dari catatan sejarahnya.
Setelah terjadi pergeseran kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto yang diikuti dengan tampilnya militer sebagai penguasa baru, pembangunan Indonesia pada waktu itu dititik beratkan pada pembangunan ekonomi. Bersamaan dengan itu, pada dasawarsa 1970-an juga terjadi lonjakan harga minyak [booming minyak] di pasar dunia. Booming minyak ini ternyata membawa perubahan gaya hidup pada anak-anak muda golongan atas yang terdiri atas anak-anak pejabat dan pengusaha. Mereka turut serta menikmati kemakmuran yang diperoleh orang tuanya. Mereka dapat membeli barang-barang modern seperti stereo set dan alat-alat musik.
Bersamaan dengan itu, politik pintu terbuka yang dilakukan oleh pemerintah membawa serta arus budaya asing ke Indonesia. Musik rock, yang pada pemerintahan sebelumnya sempat dilarang, mulai bisa didengarkan oleh anak-anak muda melalui Radio Republik Indonesia [RRI] dan Radio Angkatan Udara Indonesia [RAURI]. Di Jakarta, radio yang sering memutar lagu-lagu semacam Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin dan Deep Purple adalah Radio Prambors, yang beroperasi sejak tahun 1967 dan dikelola oleh anak-anak muda golongan atas.
Di Malang, anak-anak pejabat pun tidak mau ketinggalan dengan anak-anak ibukota. Adalah Bambang Gempur, anak pejabat AURI Abdurahman Saleh, yang ikut mendirikan radio PK 17 di Jalan Pekalongan 17 Malang. Lagu-lagu yang diudarakan juga tidak jauh berbeda dengan radio Prambors Jakarta. Dengan peralatan yang sederhana, mereka pancarkan lagu-lagu dari radio Australia. Inilah kreativitas pemusik Malang pada waktu itu. Kaset tape recorder saja susah didapat. Sementara piringan hitam harganya tidak terjangkau oleh rata-rata kawula muda waktu itu. Hanya dengan mendengarkan lagu-lagu dari radio Australia yang biasanya mengudara setiap jam 5 pagi, jam 12 siang dan 4 sore itu, mereka mampu menjadi plagiat musik dan lagu-lagu milik The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Deep Purple dan lain sebagainya.
Munculnya Bentoel Rock Band di Malang pada tahun 1970-an yang mengorbitkan nama-nama rocker ternama seperti Mickey Jaguar, Ian Antono, Teddy Sujaya, Fuad [drummer pertama God Bless] dan Silvia Sartje, membuat musisi rock tanah air terbelalak. Mereka berdecak kagum dengan penampilan band rock dari kota Malang ini. Ketika musisi ibu kota masih demam dengan musik pop dan menyanyikan lagu-lagu karya The Beatles dan Everly Brothers, Bentoel Rock Band dengan vokalis andalannya Mickey Jaguar dan Silvia Sartje sudah meneriakkan lagu-lagu hard rock milik Rolling Stones, Led Zeppelin dan Deep Purple dengan melodi yang lebih garang.
Yang lebih mengherankan lagi adalah penampilan vokalisnya Mickey Jaguar yang seringkali berlaku aneh dengan gaya yang berbau horor dan sadis. Pernah suatu ketika Mickey bergaya seperti Ozzy Osbourne [Black Sabbath], dengan menyembelih kelinci di atas panggung dan meminum darahnya. Konon seminggu setelah acara 'pembantaian kelinci' di atas panggung itu, Mickey meninggal dunia.
Band rock yang menjadi pesaing Bentoel pada waktu itu adalah Oepet Rock Band. Dua band rock inilah yang menjadi idola kawula muda Malang pada era tahun 70-an, di samping Jaguar dan band-band lainnya.
Melihat aksi arek-arek Malang yang demikian sempurna dalam penampilan dan membawakan lagu-lagu milik rocker manca negara, musisi Surabaya juga tidak tidak mau ketinggalan. Untuk pertama kali di Surabaya muncul nama AKA [Apotek Kaliasin] yang beranggotakan Ucok Harahap, Arthur Kaunang, Sonata Tanjung, dan Syech Abidin. AKA sempat mencuat di barisan musik rock Indonesia karena sering tampil dengan membawakan lagu-lagu karyanya sendiri di samping lagu-lagu hard rock dan rock blues milik Jimi Hendrix dan Deep Purple.
Munculnya AKA grup ternyata membawa dampak positif dengan tampilnya grup rock baru seperti Yeye Boys, Gembels yang dimotori Victor Nasution, dan Lemon Trees yang dimotori Gombloh.
Para musisi rock wajib bercelana jeans kumal, berambut gondrong, minuman keras, ganja, dan bergaya 'hippies' serta dibumbui kelakuan yang sedikit urakan. Sehingga tidak jarang jika dalam konser musik rock selalu diwarnai keributan berupa pelemparan botol minuman keras atau perkelahian antar penonton sendiri.
Gambar-gambar musisi rock luar dan dalam negeri seperti Jimi Hendrix, Janis Joplin, Led Zeppelin, Suzy Quatro, God Bless, AKA, Rollies dan lain sebagainya sudah akrab memenuhi dinding-dinding kamar anak muda waktu itu. Dan rata-rata grup rock band yang tampil selalu muncul dengan memainkan lagu-lagu rock barat yang populer di telinga anak muda. Bahkan setiap grup punya identifikasi dengan grup rock barat pujaan anak muda saat itu.
Generasi musisi rock Malang, saat itu banyak digodok di Bhawikarsu Band [SMAN 3 Malang]. Banyak musisi handal Malang yang merupakan jebolan dari Bhawikarsu band, seperti Wiwie Gank Voice, Totok Tewel, Noldik, Fiar dan Eddy Darome.
Menginjak tahun 1980-an, ada kegairahan baru pada warna musik rock seperti musik heavy metal dan art rock. Malang pada tahun 1980-an masih mendapatkan predikat sebagai barometer musik rock Indonesia. Predikat ini disebabkan karena seringnya konser festival maupun parade musik rock diselenggarakan di kota ini. Di samping itu Arek-arek Malang [Arema] memang dikenal sangat apresiatif dalam menikmati lagu-lagu rock serta sangat menonjol dibandingkan dengan anak-anak muda kota lain.
Tolok ukur sukses tidaknya konser musik rock di tahun 80-an adalah respon dan apresiasi pecinta musik rock di Malang. Jika sukses tampil di Malang maka dipastikan akan sukses tampil di kota-kota lainnya.
Pada tahun 1980-an, di Malang memutar lagu-lagu Rush, Marillion dan Genesis menjadi semacam lagu 'wajib' bagi pecinta musik rock di Malang - di samping Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath dan lain sebagainya. Adalah grup Gang Voice yang beranggotakan Wiwie, Noldik, Toto Tewel dan Eddy yang menjadi pioner plagiat musik art rock. Dalam penampilannya mereka selalu memainkan lagu-lagu Rush, Genesis dan Marillion.
Grup rock Blood Zacker yang dimotori Semo dan Bogel serta Thunderbird yang dimotori oleh Juki, juga sempat populer di kota Malang. Kemudian ada Dream Maker, Plankton, Gank Voice, Bonzo dan lain sebagainya yang selalu rajin pentas dalam setiap acara musik di kota Malang.
Log Zhelebour yang menggandeng perusahaan rokok pada tahun 1994 mulai menggelar festival rock se-Indonesia yang babak penyisihannya diselenggarakan di hampir setiap kota besar di Indonesia, babak semi finalnya pasti di Malang dan final diselenggarakan di Surabaya. Hal ini menambah motivasi bagi munculnya grup-grup rock baru di Malang.
Menginjak pertengahan tahun 90-an, predikat Malang sebagai barometer musik rock di Indonesia mulai menurun. Setelah tour album Raksasa milik God Bless dan konser Slank digelar di stadion Gajayana Malang, pertunjukan musik rock mulai mengalami penurunan. Hal ini akibat sulitnya ijin yang didapat dari pihak keamanan yang mengidentikkan musik rock sama dengan kerusuhan. Apalagi referensi mereka adalah pagelaran Metalica dan Mick Jagger di Jakarta yang berakhir rusuh.
Ditambah GOR Pulosari yang pada tahun 80-an jadi langganan ajang konser musik rock, fasilitas dan atapnya mulai banyak yang rusak. Sehingga musisi Malang kesulitan untuk beraktualisasi dalam mengembangkan kreasi mereka terutama pada jalur musik rock. Apalagi situasi negara yang mulai terpuruk perekonomiannya.
Pergeseran kekuasaan dari Presiden Suharto ke Presiden Habibie juga sangat mempengaruhi perkembangan musik rock di Malang. Krisis moneter yang demikian dahsyatnya menghantam perekonomian Indonesia, membuat promotor pagelaran musik sangat ketakutan menggelar acara konser musik. Tapi anehnya, masyarakat Malang pada waktu itu seperti tidak merasakan imbas dari krisis ekonomi tersebut. Buktinya, pagelaran teater monolog Lidah Masih Pingsan oleh Butet Kartaredjasa ditonton oleh ratusan masyarakat yang berjubel memenuhi Taman Krida Budaya. Atau pertunjukan kelompok musik keroncong dagelan Sinten Remen oleh Jadug Ferianto di Balai Merdeka Unmer Malang juga mendapatkan sambutan yang luar biasa - meski kedua pertunjukan itu harga tiketnya terhitung mahal, apalagi lewat calo tiket.
Sementara untuk saat ini, pagelaran musik rock di kota Malang justru tidak memunculkan kelompok musik rock baru yang kreatif dan inovatif. Mereka rajin naik pentas di kotanya sendiri, tapi terjungkal di pementasan 'away'. Kalaupun ada grup rock yang pernah menjadi juara festival rock, toh masih sulit untuk menembus industri musik rekaman di Indonesia.. Memang, untuk bersaing pada jalur musik rock, sedikit sekali musisi Malang yang mencuat menjadi idola anak muda di kotanya sendiri. Bandingkan saja dengan Dewa, Padi atau Boomerang yang bukan saja menjadi idola kawula muda di kota kelahirannya, tetapi sudah menjadi kebanggaan kawula muda Indonesia.
Pada saat ini, banyak sekali grup band rock yang menjamur di Malang. Skill mereka pada instrumen sebenarnya tidak kalah dengan pemusik rock tingkat nasional. Bahkan Ian Antono sendiri mengakui bahwa skill-nya sudah kuno dibandingkan dengan skill yang dimiliki oleh anak-anak muda sekarang. Lagu-lagunya lebih sulit dengan melodi yang 'mbulet' dan menuntut ketajaman jari-jari tangan untuk mengolah senar gitar. Banyak di kota Malang ini, grup band yang mampu memainkan lagu-lagu grup musik rock yang dikenal 'rumit' partiturnya, seperti Dream Theater, Mr. Big, Van Halen, Joe Satriani, Yngwie Malmenstein, Rush, dan lain sebagainya. Meskipun skill memainkan lagu orang lain rocker Malang tergolong hebat, namun ketika sudah dituntut untuk bikin lagu yang berkualitas dan bisa laris di pasar, musisi rock Malang pada saat ini perlu belajar dari kawan-kawan kita di Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Jogjakarta.
Surabaya punya Padi dan Booemerang, Yogyakarta punya Sheila On 7, lalu Malang punya apa?! Ya, kita masih punya group rock seperti Arema Voice dan D'kross, meskipun raungannya tidak melengking ke seluruh penjuru nusantara. Namun itu sudah lumayan masih ada yang komitmen untuk menjadikan musik rock terus bergema di bumi Arema...
0 komentar:
Posting Komentar